: "width=1100"' name='viewport'/> Ahmad Al-Ghifari: Analisis Teori Feminism dalam Novel “Bumi Manusia: Karya Pramoedya Ananta Toer"

Minggu, 25 Desember 2016

Analisis Teori Feminism dalam Novel “Bumi Manusia: Karya Pramoedya Ananta Toer"


Sebelum mengetahui lebih dalam tentang analisis sebuah karya dengan menggunakan Teori Feminisme yang digagasi oleh Mary Wollstonecraft . Akan lebih dapat dipahami jika pengetahuan tentang karya nfiksi.dan juga bagaimana mengapresiasinya dengan berbagai aspek kesastraan dipelajari. Karya sastra dapat didefinisikan sebagai tulisan ‘imajinatif’ dalam artian fiksi—tulisan yang secara harfiah tidak harus benar. Namun ada batasan-batasan yang membuat karya tersebut dikategorika sebagai sastra.
             Menurut Bahsin dan Night dalam bukunya “Some Question of Feminism and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986 mendefinisikan feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut. Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
            Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah wacana melainkan sebuah idelogi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan.
            Dengan dipahami dari ideologi tentang perlawanan, ini mengindikasikan bahwa dalam feminisme harus ada aksi untuk membebaskan perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga feminisme juga memiliki artian gerakan-gerakan intelektual yang muncul dan tumbuh secara akademis maupun bentuk upaya-upaya politik dan sosial perempuan untuk mengakhiri penindasan yang dialami.
            Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, sebuah kota kecil di bagian utara Jawa Tengah. Ia anak sulung dari Sembilan orang anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan M. Toer dan Saidah. Ayahnya berasal dari keluarga Bupati Kediri. M.Toer seorang jawa asli dengan kebudayaan jawa sebagai pilar pendidikan keluarga, tetapi terdidik dalam sekolah Barat. Ibunya, Saidah, anak penghulu kabupaten Rembang dan terdidik dalam islam pesisir. Ibunya pernah belajar di Sekolah Dasar Belanda dan juga di rumah melalui guru-guru Belanda yang didatangkan oleh kakeknya. Dalam kehidupan keluarganya, Pramoedya merasa telah terjadi konflik antara dua kebudayaan, yaitu Islam pesisir yang dianut ibunya dan Islam pedalaman yang dianut ayahnya. Namun, ada satu sikap yang sama dalam diri ayah dan ibunya, yaitu jiwa patriotik nasionalis kiri. Pramoedya dididik orang tuanya dengan tujuan agar menjadi manusia yang bebas. Ini sangat bertentangan dengan situasi pada waktu itu, bahwa sebagian besar masyarakat bercita-cita menjadi pegawai negeri, yaitu golongan priyayi. Yang selalu diajarkan orang tuanya adalah agar menjadi bebas dan tidak malu bekerja.
            Dalam novel Bumi manusia, dkisahkan seorang Nyai benama Ontosoroh atau Sanikem berawal dari ayahnya yang sebelumnya hanyalah seorang juru tulis yang mendambakan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagai jurubayar. Banyak cara yang telah ditempuh ayahnya mulai dari menjilat dan merugikan teman-temannya sampai melalui dukun dan tirakat tapi usahanya Sanikem pada saat berumur tiga belas tahun mulai mengalami pingitan dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan kamarnya. Ketika berumur empatbelas tahun Sanikem sudah dianggap oleh masyarakat sebagai perawan tua. Ayahnya mempunyai rencananya sendiri dengan menolak semua lamaran yang datang.
            Sisi feminis dalam novel ini pun muncul dan ditonjolkan dalam sudut pandang Nyai Ontosoroh sendiri, yang dalam cerita itu, bukanlah nyai biasa. Bukanlah gundik biasa. Zaman itu, Nyai identik dengan kebobrokan moral dan kebodohan. Sehingga jika ada seorang wanita Pribumi mendapatkan predikat Nyai, sudah dipastikan masyarakat akan mencap jelek wanita itu. Tapi ternyata, Nyai Ontosoroh adalah Nyai yang berbeda dengan Nyai kebanyakan. Ia mampu membaca dan berbahasa Belanda dengan sangat baik. Sebuah hal yang hampir mustahil terjadi di masa itu.

“Ayahkku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang     beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itukeluarbiasaan dalammasyarakat pabrik. Masih ada lagi Apa lelaki yang mengambildari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang tidak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau     pemabuk.orang takkan bakal tahu sebelumnya jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman. (hal. 119)

Seperti kutipan di atas begitulah gambaran posisi perempuan dalam masa itu. Dimana Sanikem menceritakan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan calon suaminya sendiri dan menentukan nasibnya dimasa depan. Hal ini dialami oleh Sanikem, Tuan Sastrotomo memberikannya kepada Tuan Administratur agar bisa diangkat sebagai juru bayar jabatan yang didamba-dambakannya demi sebuah kehormatan dan ketakziman.
            Dibawah ini adalah analisis “Feminism dalam Novel “Bumi Manusia: Karya Pramoedya Ananta Toer.

                                    ….seorang anak yang telah dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo, yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku” (P. )

Melalui kutipan di atas, terlihat jelas terdapat unsur teori feminisme yang mana dalam kalimat “Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku” mengandung penentangan dari Sanikem sebagai perempuan yang mengalami nasib seperti itu terhadap posisi anak khususnya anak perempuan yang mempunyai nasib dijual oleh orang tuanya sendiri.  Tetapi dia menemukan kebangkitan diri.
Kekalahannya dalam bentuk Ketidakberdayaannya menolak gundik (Nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema mendorong Nyai Ontosoroh untuk menyerap berbagai arus pemikiran.
            Tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang takkalah pentingnya dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan sebelah mata.

                                    …Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya   aku tak punya masa lalu lagi” (Toer, Hal. )

Dengan berjalannya waktu, bagian kutipan “tumbuh jadi pribadi baru” diatas adalah karena setelah Nyai ontosoro dibawa kerumah suaminya, ia diajarkan berbagai macam studi bagaimana cara membaca, menulis dan bericara dalam Bahasa Belanda yang dilakukannya untuk mempersiapkan dirinya untuk hal-hal yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu pada seorang nyai-nyai, seorang gundik. Hal ini sangat mendukung dalam teori Feminisme yang diungkapkan oleh Mansour Fakih yang menjelaskan bahwa “feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.” Maka dari itu, sosok Nyai ontosoro dalam novel ini ingin menjadikan seorang perempuan mempunyai derajat yang sama dengan suaminya tanpa adanya penindasan, kekerasan dan hal-hal yang membuat para wanita terelenggu pada aturan lelaki atau suami melalui teori Feminisme yang bertujuan sebagai kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Hal itu dikarenakan ada nya kesadaran bahwa perempuan ditindas,di eksploitasi,dan berusaha untuk menghindari penindasan dan eksploitasi

Itulah yang hal menarik Minke untuk bergaul dengan Nyai Ontosoroh walaupun ramai orang membicarakan mereka. Kenyataan sosial pada masa itu terhadap kaum perempuan. Penjualan perempuan dianggap sudah biasa dan dihalalkan, tanpa mengindahkan siksaan dan penghinaan yang mungkin diterima si perempuan. Sanikem dijual oleh orang tuanya demi naik jabatan dan mendapatkan uang.
                                                Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana  seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang hidupnya pernah menjual  anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun….”  (Toer, hal.123)

Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbeda dari prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku, kemampuan menulis dan berbicara dalam Melayu, dan Belanda Nyai. Dalam kutipa diatas dapat kita ketahui, dimasa itu, seorang perempuan sangat tidak bermakna sebagai masyarakat pribumi. Tidak hanya menurut pandangan Bangsa Eropa, tetapi juga orang tua yang  melahirkan dan membesarkannya begitu tega menjual kepada bangsa Eropa dan itulah mengapa Teori Feminisme diperlukan pada zaman tersebut agar tidak adanya penindasan, kekerasan atau apapun yang membuat generasi para perempuan tidak merasakan ap yang ia rasakan sebelumnya. Seperti yang ada dalam kutipan dibahawah ini “Mengapa aku menceritakan ini padamu, Ann? Karena aku tak ingin melihat anakku mengulang pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan seperti itu. (Toer, hal. 127-128)

                                    Aku masih terpesona melihat seorang wanita pribumi bukan  saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suat komplex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik? Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadimahligai teka-teki bagiku. (Toer, hal.34)

Kutipan di atas mempunyai hubungan dengan kutipan sebelumnya. Sesuai dengan teori Feminisme yang dikemukakan oleh M Aggie Humm dalam bukunya “Dictionary of Feminist Theories” menyebutkan “feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya.” Terlihat jelas bahwa Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang begitu kuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah perusahaan besar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah budak, dihinakan oleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi, Indo, maupun Belanda Totok. Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan mengandalkan alur hidup untuk membebaskan ketidakadilah yang dilakukan dijaman tersebut.

                                    Mama pelajari semua yang dapat kupelajari  dari kehendak tuanku:kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur danrumah masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akankubuktikan pada mereka, apapun yang  telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga dari pada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai. (Toer, Hal 128)

                                    Hampir saja Mama lupa menceritakan,  Ann. Tuan juga yang mengajari aku berdandan dan memilih warna yang cocok….. (Toer,hal. 133)

Dari kutipankutipan diatas, nampak jelas bahwa setelah mama annelise melakukan apa yang dijelaskan dalam teori feminisme, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan lelaki biasanya. Seperti apa yang telh dikatakan oleh   Kamus ideologi politik , Feminisme ialah  Sekumpulan gagasan yang selalu berubah – ubah, gagasan ini merupakan tanggapan yang digerakan oleh ketidakadilan. Dalam diri perempuan yang tersinggung karena memperioritas kan hak – hak tertentu untuk kaum laki – laki.” Jadi pada masanya, Nyai Ontosoroh adalah orang yang pertama yang melakukan atau mengusung feminisme sebagai hal yang sangat diperlukan untuk menghilangkan diskriminasi dalam hidup sebagai perempuan.


….Sudah sejak di Tulangan ia menternakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malam hari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menysusun kalimat Belanda. (Toer,Hal.130)

                                    “….aku tak ingin melihat anakku mengulai pengalaman terkutuk ini. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seseorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh iperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tidak boleh dijual oleh siapapun dengan harga berapun.” (hal 127-128)

            Sanikem tidak hanya mengalami perpolitikan keluarga kolonial, dia pada akhirnya harus menghadapi sistem hukum kolonial itu sendiri. Kaum Nyai sepenuhnya bergantung pada perlindungan Tuannya. Bagaimana jika lelakinya pergi meninggalkannya? Bagaimana nasib Nyai dan keluarganya?  Sanikem adalah gambaran gadis-gadis di Bumi Manusia yang mengalami penindasan feodalisme. Bukan hanya tidak memiliki pengetahuan karena tidak dapat bersekolah dan juga dari keluarga miskin, tetapi juga karena kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya itu mendampingi dan melayani suami, melahirkan serta merawat anak

                                    Siapa yang menjadikan aku gundik? siapa yang membikin mereka jadinyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? dihinakan? Apa Tuan-  Tuan mengkehendaki anakku juga jadi gundik? Suaranya terngaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas. Pada waktu itu wanita pribumi itu telah menjadi jaksa resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang menertawakan perbuatan mereka sendiri. (Toer, hal. 427)


Dalam kutipan diatas, selain belajar tentang kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dll. Tetapi, pada akhirnya Sanikem yang sudah menjadi Nyai harus berhadapan langsung dengan hukum kolonial Tuan-tuan hakim Belanda untuk membela  dirinya dan membela haknya sebagai seorang ibu. Adalah dari mulut dari seorang  Nyai ini keluar kata-kata yang mengungkapkan sesungguhnya.
            Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem  wanita pribumi yang lagi-lagi tidak berdaya menghadapi ketika anaknya Annelise dibawa paksa dari tangannya. tapi biar bagaimanapun Nyai Ontosoroh tetap berusaha keras melakukan perlawanan mempertahankan anaknya meski kalah. Digambarkan Nyai Ontosoroh berkata kepada Minke,

                                    Kita telah melawan, Nak. Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-                            hormatnya".  (Toer, hal.535)

Nyai melakukan perlawanan terhadap nasib sebagai gadis yang dijual menjadi Nyai “Kita telah melawan” terhadap kemunafikan dan kezaliman didalam rumahnya sendiri, terhadap sistem dan hukum kolonial itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bahsin dan Night dalam bukunya “Some Question of Feminism and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986 mendefinisikan “feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut.” Maka hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan yang terjadi pada Nyai Ontosoroh untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Maka dari itu, pada dasarnya Pram mengangkat ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang tertentu dalam novel ini. Salah satu caranya adalah dengan menggambarkan pelanggaran hak-hak maupun pendiskreditan keberadaan mereka. Melalui Bumi Manusia, Pram ingin mengingatkan kita bahwa semua  orang mempunyai hak yang sama dan orang lain harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan, suku, bangsa, maupun jenis kelaminnya. Pramoedya mencoba mengungkapkan ketidaksetujuan atau penentangannya terhadap segala bentuk tindakan diskriminasi. Pramoedya yang menentang diskrimkriminasi termasuk juga diskriminasi terhadap perempuan dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama sang Ibu yang mempengaruhi penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh Pramoedya memrepresentasikan nilai feminisme dalam karyanya.

References:
ü  Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
ü  Nurrahman, Dian. 2014. Clasical Critical Theory: from ancient Greek to Victorian England. Kota Bandung: Pustaka Aura Semesta.
ü  Djajanegara, Soenardjati 2003 Kritik Sastra Feminis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ü  Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra Feminis: Teori Dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ü  Kalish, Richard A. 1968. The Psychology of Human Behavior. California: Wadsworth Publishing Company.
ü  Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak-Jejak Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Tidak ada komentar: