Sebelum mengetahui lebih dalam tentang
analisis sebuah karya dengan menggunakan Teori Feminisme
yang digagasi oleh Mary Wollstonecraft . Akan lebih dapat dipahami jika pengetahuan
tentang karya nfiksi.dan juga bagaimana mengapresiasinya dengan
berbagai aspek kesastraan dipelajari. Karya sastra dapat didefinisikan sebagai tulisan
‘imajinatif’ dalam artian fiksi—tulisan yang secara harfiah tidak harus benar.
Namun ada batasan-batasan yang membuat karya tersebut dikategorika sebagai
sastra.
Menurut Bahsin dan Night dalam bukunya “Some
Question of Feminism and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986
mendefinisikan feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga, serta tindakan
sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut. Maka
hakikat dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan,
harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar
sebuah wacana melainkan sebuah idelogi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan
bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang
dialami perempuan.
Dengan dipahami dari ideologi tentang perlawanan, ini
mengindikasikan bahwa dalam feminisme harus ada aksi untuk membebaskan
perempuan dari semua ketidakadilan, sehingga feminisme juga memiliki artian
gerakan-gerakan intelektual yang muncul dan tumbuh secara akademis maupun
bentuk upaya-upaya politik dan sosial perempuan untuk mengakhiri penindasan
yang dialami.
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6
Februari 1925 di Blora, sebuah kota kecil di bagian utara Jawa Tengah. Ia anak
sulung dari Sembilan orang anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan M. Toer
dan Saidah. Ayahnya berasal dari keluarga Bupati Kediri. M.Toer seorang jawa
asli dengan kebudayaan jawa sebagai pilar pendidikan keluarga, tetapi terdidik
dalam sekolah Barat. Ibunya, Saidah, anak penghulu kabupaten Rembang dan
terdidik dalam islam pesisir. Ibunya pernah belajar di Sekolah Dasar Belanda dan juga di
rumah melalui guru-guru Belanda yang didatangkan oleh kakeknya. Dalam kehidupan
keluarganya, Pramoedya merasa telah terjadi konflik antara dua kebudayaan,
yaitu Islam pesisir yang dianut ibunya dan Islam pedalaman yang dianut ayahnya.
Namun, ada satu sikap yang sama dalam diri ayah dan ibunya, yaitu jiwa
patriotik nasionalis kiri. Pramoedya dididik orang tuanya dengan tujuan agar
menjadi manusia yang bebas. Ini sangat bertentangan dengan situasi pada waktu
itu, bahwa sebagian besar masyarakat bercita-cita menjadi pegawai negeri, yaitu
golongan priyayi. Yang selalu diajarkan orang tuanya adalah agar menjadi bebas
dan tidak malu bekerja.
Dalam novel Bumi manusia, dkisahkan seorang Nyai benama Ontosoroh
atau Sanikem berawal dari ayahnya yang sebelumnya hanyalah seorang juru tulis
yang mendambakan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagai jurubayar. Banyak cara
yang telah ditempuh ayahnya mulai dari menjilat dan merugikan teman-temannya
sampai melalui dukun dan tirakat tapi usahanya Sanikem pada saat berumur tiga
belas tahun mulai mengalami pingitan dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan
kamarnya. Ketika berumur empatbelas tahun Sanikem sudah dianggap oleh masyarakat
sebagai perawan tua. Ayahnya mempunyai rencananya sendiri dengan menolak semua lamaran yang datang.
Sisi feminis dalam novel ini pun
muncul dan ditonjolkan dalam sudut pandang Nyai Ontosoroh sendiri, yang dalam
cerita itu, bukanlah nyai biasa. Bukanlah gundik biasa. Zaman itu, Nyai identik
dengan kebobrokan moral dan kebodohan. Sehingga jika ada seorang wanita Pribumi
mendapatkan predikat Nyai, sudah dipastikan masyarakat akan mencap jelek wanita
itu. Tapi ternyata, Nyai Ontosoroh adalah Nyai yang berbeda dengan Nyai
kebanyakan. Ia mampu membaca dan berbahasa Belanda dengan sangat baik. Sebuah
hal yang hampir mustahil terjadi di masa itu.
“Ayahkku dan hanya ayahku yang
menentukan. Memang beruntung kalau jadi
yang pertama dan tunggal. Dan itukeluarbiasaan dalammasyarakat
pabrik. Masih ada lagi Apa lelaki yang mengambildari
rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi
perempuan harus mengabdi dengan
seluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang tidak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan
mengusir. Tak ada jalan yang bisa
dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk.orang takkan bakal tahu sebelumnya jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang
budiman. (hal. 119)
Seperti kutipan di atas begitulah
gambaran posisi perempuan dalam masa itu. Dimana Sanikem menceritakan bahwa
perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan calon suaminya sendiri dan
menentukan nasibnya dimasa depan. Hal ini dialami oleh Sanikem, Tuan Sastrotomo
memberikannya kepada Tuan Administratur agar bisa diangkat sebagai juru bayar
jabatan yang didamba-dambakannya demi sebuah kehormatan dan ketakziman.
Dibawah
ini adalah analisis “Feminism dalam Novel “Bumi Manusia: Karya Pramoedya Ananta
Toer.
“….seorang
anak yang telah dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo, yang dijual
adalah diriku: Sanikem. Sejak detik
itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku” (P. )
Melalui kutipan di atas, terlihat jelas terdapat unsur
teori feminisme yang mana dalam kalimat “Sejak
detik itu hilang sama sekali penghargaan dan
hormatku pada ayahku” mengandung
penentangan dari Sanikem sebagai perempuan yang mengalami nasib seperti itu
terhadap posisi anak khususnya anak perempuan yang mempunyai nasib dijual oleh
orang tuanya sendiri. Tetapi dia
menemukan kebangkitan diri.
Kekalahannya dalam bentuk Ketidakberdayaannya
menolak gundik (Nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema mendorong Nyai
Ontosoroh untuk menyerap berbagai arus pemikiran.
Tokoh
Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang takkalah pentingnya
dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga ingin
membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia itu
orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai
hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan
sebelah mata.
“…Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan
penglihatan dan pandangan
baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun
yang lalu. Rasanya aku tak punya masa
lalu lagi” (Toer, Hal. )
Dengan berjalannya
waktu, bagian kutipan “tumbuh jadi pribadi baru” diatas adalah karena setelah
Nyai ontosoro dibawa kerumah suaminya, ia diajarkan berbagai macam studi
bagaimana cara membaca, menulis dan bericara dalam Bahasa Belanda yang dilakukannya
untuk mempersiapkan dirinya untuk hal-hal yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu
pada seorang nyai-nyai, seorang gundik. Hal ini sangat mendukung dalam teori
Feminisme yang diungkapkan oleh Mansour
Fakih yang menjelaskan bahwa “feminisme merupakan gerakan yang berangkat
dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan
dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.” Maka dari itu, sosok Nyai
ontosoro dalam novel ini ingin menjadikan seorang perempuan mempunyai derajat
yang sama dengan suaminya tanpa adanya penindasan, kekerasan dan hal-hal yang
membuat para wanita terelenggu pada aturan lelaki atau suami melalui teori
Feminisme yang bertujuan sebagai
kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Hal itu dikarenakan ada nya
kesadaran bahwa perempuan ditindas,di eksploitasi,dan berusaha untuk
menghindari penindasan dan eksploitasi
Itulah yang hal menarik Minke untuk bergaul dengan Nyai
Ontosoroh walaupun ramai orang membicarakan mereka. Kenyataan sosial pada masa
itu terhadap kaum perempuan. Penjualan perempuan dianggap sudah biasa dan
dihalalkan, tanpa mengindahkan siksaan dan penghinaan yang mungkin diterima si
perempuan. Sanikem dijual oleh orang tuanya demi naik jabatan dan mendapatkan
uang.
“Begitulah,
Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh
ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo.
Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan
hormatku pada ayahku;
pada siapa saja yang hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan
maksud apapun….” (Toer,
hal.123)
Pramoedya
menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbeda dari prasangka umum.
Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku, kemampuan menulis dan
berbicara dalam Melayu, dan Belanda Nyai. Dalam kutipa diatas dapat kita
ketahui, dimasa itu, seorang perempuan sangat tidak bermakna sebagai masyarakat
pribumi. Tidak hanya menurut pandangan Bangsa Eropa, tetapi juga orang tua
yang melahirkan dan membesarkannya
begitu tega menjual kepada bangsa Eropa dan itulah mengapa Teori Feminisme
diperlukan pada zaman tersebut agar tidak adanya penindasan, kekerasan atau
apapun yang membuat generasi para perempuan tidak merasakan ap yang ia rasakan
sebelumnya. Seperti yang ada dalam kutipan dibahawah ini “Mengapa aku menceritakan ini padamu, Ann? Karena aku tak ingin melihat
anakku mengulang pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin
dengan seorang yang kau sukai dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak boleh
diperlakukan seperti hewan seperti itu”. (Toer, hal. 127-128)
Aku
masih terpesona melihat seorang wanita pribumi bukan saja bicara Belanda, begitu baik, lebih karena
tidak mempunyai suat
komplex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia? Dan mengapa hanya
seorang nyai, seorang gundik?
Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti
wanita Eropa? Keangkeran istana kayu ini berubah menjadimahligai
teka-teki bagiku. (Toer, hal.34)
Kutipan di atas mempunyai hubungan
dengan kutipan sebelumnya. Sesuai dengan teori Feminisme yang dikemukakan oleh M Aggie Humm dalam bukunya “Dictionary of Feminist
Theories” menyebutkan “feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan
karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan
mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya.” Terlihat jelas bahwa Sosok Nyai Ontosoroh merupakan
sosok perempuan pribumi yang begitu kuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan
mengelola sebuah perusahaan besar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak
lain adalah budak, dihinakan oleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi,
Indo, maupun Belanda Totok. Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan
mengandalkan alur hidup untuk membebaskan ketidakadilah yang dilakukan dijaman
tersebut.
Mama
pelajari semua yang dapat kupelajari
dari kehendak tuanku:kebersihan, bahasa Melayu,
menyusun tempat tidur danrumah
masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah
mendendam orangtuaku
sendiri. Akankubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa
lebih berharga dari pada mereka, sekalipun
hanya sebagai nyai. (Toer, Hal 128)
Hampir
saja Mama lupa menceritakan, Ann. Tuan
juga yang mengajari aku berdandan dan memilih
warna yang cocok…..
(Toer,hal. 133)
Dari kutipankutipan diatas, nampak
jelas bahwa setelah mama annelise melakukan apa yang dijelaskan dalam teori
feminisme, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan apa yang dilakukan lelaki
biasanya. Seperti apa yang telh dikatakan oleh Kamus ideologi
politik , Feminisme ialah Sekumpulan
gagasan yang selalu berubah – ubah, gagasan ini merupakan tanggapan yang
digerakan oleh ketidakadilan. Dalam diri perempuan yang tersinggung karena
memperioritas kan hak – hak tertentu untuk kaum laki – laki.” Jadi pada
masanya, Nyai Ontosoroh adalah orang yang pertama yang melakukan atau mengusung
feminisme sebagai hal yang sangat diperlukan untuk menghilangkan diskriminasi
dalam hidup sebagai perempuan.
….Sudah sejak di Tulangan ia
menternakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana
memeliharanya. Di malam hari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menysusun
kalimat Belanda. (Toer,Hal.130)
“….aku
tak ingin melihat anakku mengulai pengalaman terkutuk
ini. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seseorang yang kau sukai
dengan semau sendiri. Kau anakku, kau tidak
boleh iperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tidak boleh dijual oleh
siapapun dengan harga berapun.” (hal 127-128)
Sanikem
tidak hanya mengalami perpolitikan keluarga kolonial, dia pada akhirnya harus
menghadapi sistem hukum kolonial itu sendiri. Kaum Nyai sepenuhnya bergantung
pada perlindungan Tuannya. Bagaimana jika lelakinya pergi meninggalkannya?
Bagaimana nasib Nyai dan keluarganya?
Sanikem adalah gambaran gadis-gadis di Bumi Manusia yang mengalami
penindasan feodalisme. Bukan hanya tidak memiliki pengetahuan karena tidak
dapat bersekolah dan juga dari keluarga miskin, tetapi juga karena kepercayaan
bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena perannya hanya itu mendampingi
dan melayani suami, melahirkan serta merawat anak
Siapa yang menjadikan aku gundik?
siapa yang membikin mereka
jadinyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuankan.
Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? dihinakan?
Apa Tuan- Tuan mengkehendaki
anakku juga jadi gundik?
Suaranya terngaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin
terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas. Pada waktu
itu wanita pribumi itu telah menjadi
jaksa resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang menertawakan perbuatan mereka sendiri. (Toer, hal. 427)
Dalam kutipan diatas, selain
belajar tentang kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dll.
Tetapi, pada akhirnya Sanikem yang sudah menjadi Nyai harus berhadapan
langsung dengan hukum kolonial Tuan-tuan hakim Belanda untuk membela dirinya dan membela haknya sebagai seorang
ibu. Adalah dari mulut dari seorang Nyai
ini keluar kata-kata yang mengungkapkan sesungguhnya.
Nyai
Ontosoroh tetaplah Sanikem wanita
pribumi yang lagi-lagi tidak berdaya menghadapi ketika anaknya Annelise dibawa
paksa dari tangannya. tapi biar bagaimanapun Nyai Ontosoroh tetap berusaha
keras melakukan perlawanan mempertahankan anaknya meski kalah. Digambarkan Nyai
Ontosoroh berkata kepada Minke,
Kita
telah melawan, Nak. Nyo, sebaik-baiknya, sehormat- hormatnya". (Toer, hal.535)
Nyai melakukan perlawanan terhadap
nasib sebagai gadis yang dijual menjadi Nyai “Kita telah melawan”
terhadap kemunafikan dan kezaliman didalam rumahnya sendiri, terhadap sistem
dan hukum kolonial itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bahsin dan Night dalam bukunya “Some Question
of Feminism and its Relevance in South Asia” pada tahun 1986 mendefinisikan
“feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan di masyarakat, tempat kerja, dan keluarga, serta tindakan sadar oleh
perempuan dan laki-laki untuk mengubah kesadaran tersebut.” Maka hakikat
dari feminisme masa kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan, harkat,
serta kebebasan perempuan yang terjadi pada Nyai Ontosoroh untuk memilih dalam
mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Maka
dari itu, pada dasarnya Pram mengangkat ketidakadilan yang dialami oleh
orang-orang tertentu dalam novel ini. Salah satu caranya adalah dengan
menggambarkan pelanggaran hak-hak maupun pendiskreditan keberadaan mereka.
Melalui Bumi Manusia, Pram ingin mengingatkan kita bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dan orang lain
harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan, suku, bangsa,
maupun jenis kelaminnya. Pramoedya mencoba mengungkapkan ketidaksetujuan atau penentangannya
terhadap segala bentuk tindakan diskriminasi. Pramoedya yang menentang
diskrimkriminasi termasuk juga diskriminasi terhadap perempuan dipengaruhi oleh
orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama sang Ibu yang mempengaruhi
penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh Pramoedya
memrepresentasikan nilai feminisme dalam karyanya.
References:
ü Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Bumi
Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
ü Nurrahman, Dian. 2014. Clasical
Critical Theory: from ancient Greek to Victorian England. Kota Bandung: Pustaka
Aura Semesta.
ü Djajanegara, Soenardjati 2003
Kritik Sastra Feminis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ü Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra
Feminis: Teori Dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ü Kalish, Richard A. 1968. The
Psychology of Human Behavior. California: Wadsworth Publishing Company.
ü Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat: Melacak
Jejak-Jejak Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar