: "width=1100"' name='viewport'/> Ahmad Al-Ghifari: Januari 2017

Selasa, 31 Januari 2017

Kekerasan Simbolik pada Iklan "Extra Joss: Laki minum rasa-rasa, ya gak laki! Harusnya, Laki minum Extra Joss”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Kekerasan adalah Sebuah kata yang cukup menakutkan bila didengar terutama oleh kaum perempuan. Bila mendengar kata ‘kekerasan’ pertama kali yang terlintas dalam pikiran kita pasti hal negatif yang menyangkut fisik. Tapi, tahukah kita bahwa sekarang ini berkembang sebuah ‘kekerasan’ tanpa menggunakan fisik.

Mulai dari membuka mata di pagi hari hingga tidur di malam hari kita disuguhi oleh berbagai macam iklan, mulai dari media konvensional, billboard, hingga fasilitas-fasilitas umum seperti di lift, busway,dsb. Di saat persaingan bisnis kian ketat inilah membuat pengiklan tidak akan melewatkan sejengkal tempat dan waktu untuk beriklan.

Iklan pada dasarnya adalah untuk menjual atau menawarkan produk dan untuk menunjang pemasaran tapi seiring berkembangnya zaman maka terjadilah pergeseran fungsi iklan tersebut. Saat ini, iklan kini menanamkan suatu gaya hidup yang membuat kita tanpa sadar mengikuti suatu gaya yang kita lihat melalui iklan tersebut.

Dengan demikian, Iklan merupakan tempat yang paling subur dalam menumbuhkan kekerasan simbolik di media masa. Banyak iklan ynag menggunakan slogan guna membuat produknya lebih dikenal dan dicari. Beberapa dai selogan ini banyak mengandung kekerasann simbolik. Hal yangdianggap biasa oleh khalayak luas dan menjadi patokan bisa jadi.
 Makalah ini akan membahas beberapa slogan sebagaii penarik pembeli. Namun slogan-slogan ini mengandung kekerasan simbolikdalam arti hal ini disadari namun dibiarkan.

1.2  Rumusan Masalah
Berikut ini adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Apa itu kekerasan simbolik?
2.      Apa pengaruh iklan “Extra Joss” terhadap masyarakat?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, selain pembuatan makalah ini bersebagai syarat sebagai pemenuhan tugas ahir semester, juga bertujuan untuk
1.      Memberi penjelasan sebenarnya apa itu kekerasan simbolik yang terdapat dalam iklan.
2.      Apa dampak kekerasan simbolik dari slogan kemasyarakat.


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1  Pierre Bourdieu
Konsep kekerasan simbolik (symbolic violence) milik Pierre Bourdieu berangkat dari pemikiran adanya struktur kelas dalam formasi sosial masyarakat  yang merupakan  sebuah seperangkat jaringan yang secara sistematis berhubungan satu-sama lain dan menentukan distribusi  budaya  (cultural)  dan modal ekonomi  (economic  capital).   Kekerasan  Simbolik dalam pengertiannya  adalah   sebuah model dominasi kultural dan sosial  yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadap kelompok/ ras/ suku/ gender tertentu. Secara bergantian Bourdieu menggunakan istilah ‘kekerasan simbolik’ (symbolic violence), ‘kuasa simbolik’(symbolic power)  dan  ‘dominasi  simbolik’  (symbolic  dominance)  untuk  merujuk  hal  yang  sama. Bourdieu merumuskan  pengertian ketiganya  sebagai ‘kuasa untuk menentukan  instrument- instrumen   pengetahuan   dan   ekspresi   kenyataan   sosial   secara   semena   –   tapi   yang kesemenaannya  tidak disadari’  Dalam arti inilah kuasa  simbolik  merupakan  ‘kuasa  untuk merubah dan menciptakan realitas yakni mengubah dan menciptakannya sebagai diakui dan dikenali secara absah’ (Bourdieu: 1995a;168 dalam Indi Aunullah: 2006;111).

2.2  Roekhan
Berdasar teori Bourdieu, Roekhan (2009) mendefinisikan pengertian kekerasan simbolik secara lebih jelas dan lebih konkrit. Menurut Roekhan (2009), kekerasan simbolik adalah pemaksaan makna kabur, logika bias, dan nilai bias agar hal itu diterima oleh pembaca sebagai makna yang jelas, logika yang benar, dan nilai yang positif . Makna, logika dan nilai  tersebut disampaikan dengan kemasan bahasa yang halus dan samar sehingga informasi yang disampaikan penulis menjadi kabur. Makna kabur ini merupakan salah satu wujud informasi yang tidak lugas (Roekhan, 2009).

Uraian di atas menunjukkan bahwa penyamaran atau pengaburan informasi yang bias dalam teks berita dilakukan oleh penulis melalui strategi penghalusan makna (Roekhan, 2009; periksa pula Roekhan, 2007). Melalui strategi penghalusan makna, informasi yang disampaikan dalam teks berita menjadi samar dan bertafsir. Strategi penghalusan informasi yang lazim digunakan penulis dalam teks berita, antara lain penghalusan informasi dengan pelabelan positif dan negatif, dan penghalusan informasi dengan pengiasan dan pengonotasian.  Dalam teks berita, penggunaan kiasan dimaksudkan untuk memperhalus atau menyamarkan informasi yang diberitakan. Penggunaan kiasan membuat informasi yang disampaikan menjadi bertafsir. Sementara itu, konotasi membuat informasi yang disampaikan mengandung makna tambahan (bernilai rasa). Baik penggunaan kiasan maupun konotasi, membuat informasi yang disampaikan dalam teks berita menjadi kabur dan bertafsir (periksa Roekhan, 2009 dan 2007.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kekerasan Simbolik
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan suatu perilakubaik terbuka, tertutup maupun bertahan disertaipenggunaan kekuatan terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah kekerasan yang tidak secara langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukantidak uuntuk perlindungan, dilakukan untuk mendapatkkan sesutau. Kekerasan defensif adalah kekerasan yang dilakukan untuk diri sendiri. Dalam perkembangannya seperti apa yang diungkapkan oleh Thufail dalam kaunang (2010) Kekerasan tidak selalu berupa ingatan tentang peristiwa kekerasan, tetapi dalam bentuk ingatan (memori) terhadap ingataan itu sendiri, dalam bentuk narasi kekerasan, dan dalam bentuk berita tertulis diberbagai media cetak dan pemberitaan jaringan internet.

Istilah “kekerasan simbolik” itu sendiri dilansir oleh Bourdieu. Kekerasan jenis ini memang sulit dillihat wujudnya, meskipun sudah untuk dicermati. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik dijadikan mekanisme dalam kelompok elite dalam rangka mendominasi struktur sosial, terutama kelas bawah, dlam rangka memaksakan suatu habitus berupa ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidup. Masih menurutBourdieu, dampak kekerasan simbolik justru lebih hebat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik cenderung menguasai atau memaksa dan kemudian berhubungan dengan semua bentu tindakan, stuktur pengetahuan, dan struktur kesadaran individual. Salah satu mekanismenya, melalui slogan-slogan iklan. Lalu, mengapa bahasa? Bahasa adalah alat yang paling efektif untuk digunakan untuk melaksanakan kekerasan simbolik, karena menurut saya dalam kesatuan tindakan tutur (tindakan berbahasa) selalu saja terikut unsur lokusi (niat luhu suatu ungkapan bahasa), ilokusi (langkah praksis suatu ungkapan bahasa) dan perlokusi (daya respon suatu ungkapan bahasa), dan perlokusi (daya respon suatu ungkapan bahasa bagi mitra tuturnya).

3.2 Kekerasan Simbolik Pada Slogan Iklan
Bahasa adalah alat yang paling efektif untuk digunakan untuk melaksanakan kekerasan simbolik, karena menurut saya dalam kesatuan tindakan tutur (tindakan berbahasa) selalu saja terikut unsur lokusi (niat luhu suatu ungkapan bahasa), ilokusi (langkah praksis suatu ungkapan bahasa) dan perlokusi (daya respon suatu ungkapan bahasa), dan perlokusi (daya respon suatu ungkapan bahasa bagi mitra tuturnya).

Analisis dari slogan yang akan dituangkan dalam makalah ini adalah slogan yang membuat orang-orang berfikir seperti apa yang dikatkan iklan tersebut. Hal ini terlihat dari bagaimana sekarang orang-orang mengasumsikan sesuatu.

Slogan iklan ini adalah slogan iklan minuman serbuk untuk pria. Iklan ini menunjukkan tiga orang lelaki bepawakan kekar, yang bekerja di suatu konstruksi bangunan. Mereka menggenggam minuman berwarna pink di dalam kantong plastik. Dan kemudian seorang wanita dengan suara kecil. Dia mengatakan "laki minum rasa - rasa, harusnya ... "

Slogan "laki minum rasa - rasa, harusnya ... " sekilas tak ada yang salah dengan frame ini. Namun, menjadi masalah ketika iklan ini dibaca oleh seseorang yang melek gender. Suara perempuan yang menemani frame ini seperti mempertanyakan ke'lakian' ketiga sosok di frame ini. Dia mempertanyakan 'kelakian' mereka karena mereka minum minuman berwarna pink, yang kebetulan mengacu pada produk minuman kebugaran untuk pria dengan merek yang lain. Tentu saja, ini dimaksud untuk menyindir minuman kebugaran yang dimaksud. Namun, yang dipersoalkan adalah bukan pada jenis minumannya, tapi pada apa yang dikatakan oleh si perempuan misterius ini ... "laki minum rasa-rasa, harusnya..." Kenapa dia mengatakan harusnya? Apakah seorang laki-laki tidak seharusnya meminum minuman berwarna pink? Apakah seorang laki-laki tidak boleh, misalnya, memesan jus strawberry yang berwarna pink? Bagaimana dengan minuman vitamin c yang berwarna pink? Apa ada "keharusan" itu?

setelah kata "harusnya" dengan munculnya sesosok pria gagah, berpakaian rapi, yang membawa gelas berisi minuman yang dijual oleh iklan ini. Dia berpawakan kekar dan berwajah gahar seperti terlihat dari garis wajahnya. Dia langsung menyambung perkataan si perempuan tadi dengan lanjutan "minum extra joss" dengan sauara lantang ditemani backsound musik metal rock dengan banyak distorsi. Kesan yang dibuat oleh iklan ini adalah perubahan mendadak dari 'feminine' ke 'over masculine'. Dari suara perempuan yang terdengar 'nakal' ke suara pria yang sangat macho. Perubahan mendadak ini menekankan konsep 'over masculine'. Ini seperti mengatakan bahwa Extra Joss adalah minuman yang seharusnya diminum oleh lelaki. Seorang pria bukanlah lelaki bila tidak minum extra joss. Sosok ini pula representasi dari 'Lelaki' oleh Extra Joss.

Perepresentasian laki-laki dalam iklan extra joss ini seolah-olah menekankan konsep 'hegemonic masculinity' dan 'patriarchy' dalam budaya Indonesia. Suara perempuan diawal iklan hanya pelengkap, untuk menunjukkan laki-laki seperti apa yang sebenarnya dicari oleh perempuan Indonesia. Ini dijawab dengan model laki-laki extra joss yang berperawakan besar dan bertenaga besar. Frame terakhir menunjukkan gambaran seorang pria yang menunjukkan bahwa dia lebih 'jantan' dari pria yang lain karena dia mampu membengkongkan besi. Definisi bahwa pria sama dengan kekuatan sepertinya memang masih sangat menghegemoni di budaya Indonesia. Seorang pria tidak akan dianggap lelaki jantan bila dia adalah seorang pria yang lemah, tidak berpawakan besar dan tidak punya kekuatan besar. Ini adalah sosok 'pria' yang digemari masyarakat Indonesia. Sekali lagi, terbukti sudah bahwa suatu produk budaya populer, mencerminkan nilai - nilai budaya masyarakatnya.
Terlepas dari pro – kontra terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh pengiklan, berhasil atau tidaknya iklan tersebut mendongkrak penjualan suatu produk atau jasa, positif atau negatif efek yang dihasilkan, iklan dapat dikatakan berhasil jika mampu terngiang-ngiang dalam benak masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik. Terapan dalam melahirkan opini publik, agar masyarakat semakin tertarik dengan setiap pesan yang disampaikan. Kekerasan simbolik berlangsung dengan persetujuan tersirat dari ‘korban’ sejauh mereka tidak sadar bahwa mereka sedang melakukannya.

BAB IV
KESIMPULAN
Dengan teknologi yang semakin maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan didukung oleh komunikasi yang semakin mudah sudah menjadi hal biasa jika seorang pengusaha mempromosikan dagangannya lewat iklan. Diantara iklan-iklan ini menggunakan slogan, sayangnya diantara slogan ini tanpa disadari mengandung hal yang dinamakan kekerasan simbolik dimana hal ini dianggap wajar. Kekerasansimbolik akan berpengaruh pada cara pandang masyarakat akan sesuatu.

Ternyata selain bahasa menjadi sebuah alat yang memudahkan dalam berkomunikasi, juga bisa sangat menyakitkan. Meski bahasa tidak terlihat namun dapat terasa dengan adanya kepekaan dalam memahami suatu bahasa.


Referensi
•         Muntakapita, Fiko. 2012. Iklan dan Kekerasan simbolik. Diiakses di http://fikomuntar-kapitac5.blogspot.co.id/2012/09/iklan-kekerasan-simbolik.html pada tanggal 19 Desember 2016.
•         Kaunang, Ivan R.B. 2010. Kekerasan Simbolik. Kekerasan yang tidak terasa Perspektif Kajian Budaya. Diakses dihttp://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/34095276/Kekerasan_simbolik_Jurnal.rtf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1482211820&Signature=HQTTLdOog6kK%2FNrBK0cTE%2BRSBx0%3D&response-content-disposition=attachment%3B%20filename%3DKekerasan_simbolik_Jurnal.rtf pada tanggal 19 Desember 2016.